Belajarlah Dari Proklamasi 17 Mei 1949 (Sebuah Refleksi Untuk Membangun Kal-Sel)

(Sebuah Refleksi Untuk Membangun Kal-Sel)

Bangsa yang besar pasti akan menghargai jasa-jasa para pahlawannya…
Belajarlah dari sejarah dan jangan pernah sekalipun melupakan sejarah…
Untuk menyongsong masa depan yang lebih baik…

Tepat tanggal 17 Mei kemarin merupakan hari dan tanggal yang sangat bersejarah bagi masyarakat di Kalimantan Selatan. Namun kiranya masyarakat Kalimantan Selatan sendiri menyadari makna yang terkandung dalam tanggal 17 Mei tersebut, atau hanya dilewati sebagaimana hari-hari biasa saja?. Sebagai suatu bangsa yang besar, setiap rentetan peristiwa sejarah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari eksistensi kehidupan bangsa yang bersangkutan, apalagi peristiwa sejarah tersebut merupakan suatu alur terpenting yang menentukan bagi nasib dan masa depan bangsanya. Dengan demikian sejatinya setiap peristiwa sejarah itu harus menjadi tonggak kehidupan yang mampu dan berpotensi memberikan inspirasi dan semangat patriotisme yang lebih besar untuk generasi yang akan datang kelak.
Dalam tulisan ini saya tidak akan menjelaskan secara mendetail mengenai timbulnya proklamasi 17 Mei 1949 ini , namun saya akan lebih mengedepankan pada aspek kekiniannya untuk dijadikan sebagai bahan renungan bagi masyarakat Kalimantan Selatan dan hendaknya dapat mengambil makna yang terkandung didalamnya sebagai contoh aplikasi untuk diterapkan pada setiap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bertanah air.
Proklamasi 17 Mei 1949 merupakan suatu usaha mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustus 1945) oleh rakyat di Kalimantan Selatan, yang menyatakan bahwa wilayah Kalimantan Selatan merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam usaha mempertahankan kemerdekaan itu pada kenyataannya tidaklah mudah, karena para pejuang harus melewati serangkaian perjuangan fisik dalam kurun waktu tahun 1945-1949, yang dirasakan sangat berat karena para pejuang dihadapkan untuk melawan pemerintah kolonial Belanda yang sangat kuat. Hati kita mungkin akan tergugah oleh semangat pantang menyerah yang dikobarkan oleh para pejuang, terlebih-lebih mereka harus meninggalkan keluarga tercinta, bapak-ibunya, saudara-saudaranya maupun isteri dan anak-anaknya, serta dari sisi pengorbanan tenaga, waktu dan pikiran bahkan taruhan nyawa sekalipun, untuk dapat memperjuangkan kemerdekaan yang sudah diproklamirkan dan terbebas dari belenggu penjajahan baik secara lahir maupun batin.

Eksistensi ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan
Usaha untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dan memproklamirkan proklamasi 17 Mei 1949 ini di Kalimantan Selatan, tidak dapat terlepas dari peranan kesatuan ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan sebagai wadah untuk mempersatukan gerakan perjuangan rakyat di Kalimantan Selatan untuk melawan pemerintah kolonial NICA-Belanda. ALRI Divisi IV Kalimantan bahu-membahu bersama gerakan kepemudaan dan laskar-laskar lainnya untuk mengusir agresor kolonial Belanda ini dari bumi Antasari. Bertindak selaku komandan Batalion ALRI Divisi IV Kalimantan adalah Hassan Basry, yang nantinya merupakan salah seorang tokoh yang sangat disegani dalam memimpin revolusi fisik di Kalimantan Selatan, dan beliau juga salah seorang tokoh yang ikut berperan dalam terlaksananya proklamasi 17 Mei 1949. Beliau kemudian diberikan penghagaan sebagai Bapak Gerilya Kalimantan atas jasa-jasanya dalam memeperjuangkan kemerdekaan Kalimantan Selatan.
Walaupun pada tanggal 17 Agusutus 1945 rakyat Indonesia menyatakan merdeka, namun kiranya belum sepenuhnya bangsa ini merdeka. Bahkan oleh seorang Belanda yang bernama Van Mook berhasil membentuk beberapa negara boneka. Pemerintah Belanda didalam persetujuan Linggarjati hanya mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia yang melingkupi wilayah Jawa, Madura, dan Sumatera. Namun pemerintah NICA-Belanda melanggar perjanjian Linggarjati tersebut. Begitu pun juga dengan perjanjian Renville, pemerintah NICA-Belanda dengan terang-terangan melanggar perjanjian tersebut dengan melakukan suatu agresi militer (agresi militer I dan II), bahkan perjanjian Roem-Roeyen pun tidak membawa pengaruh yang sangat berarti bagi bangsa Indonesia.
Situasi yang demikian tersebut juga tidak luput dari amatan rakyat di Kalimantan Selatan. Akibat perjanjian Linggarjati wilayah Kalimantan Selatan bukan merupakan bagian wilayah Republik Indonesia, sehingga nantinya dengan leluasa pemerintah NICA-Belanda dapat menguasai Kalimantan Selatan. Atas dasar tersebut rakyat membrikan reaksi keras menentang kehadiran pemerintah NICA-Belanda di Kalimantan Selatan, dengan semangat yang tinggi mereka melakukan perlawanan dan pemberontakan di berbagai daerah. Puncak dari buah perjuangan rakyat di Kalimantan Selatan dalam mengusir pemerintah NICA-Belanda menorehkan satu goresan sejarah baru bagi bangsa Indonesia, yakni pernyataan merdeka dan menetapkan bahwa Kalimntan Selatan merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam sebuah proklamasi kemerdekaan. Peristiwa bersejarah ini tepatnya terjadi pada tanggal 17 Mei 1949 dalam sebuah upacara di daerah Mandapai (Kandangan), teks proklamasi sendiri dibacakan oleh Hassan Basry yang berkedudukan sebagai Gubernur Tentara dan kepala pemerintahan saat itu.
Perjuangan rakyat Kalimantan Selatan tidak serta merta berhenti setelah pernyataan proklamasi. Berbagai pergolakan-pergolakan dari rakyat di daerah-daerah terus membara untuk mengusir pemerintah NICA-Belanda di bumi Antasari ini. Pemerintah NICA-Belanda akhirnya kemudian mengusulkan untuk melakukan gencatan senjata (cease fire), akibat tekanan yang bertubi-tubi dan pantang menyerah dari para pejuang untuk melawan agresor pemerintah kolonial NICA-Belanda. Puncak dari cease fire ini ketika diadakannya pertemuan bersejarah di sebuah desa kecil yang bernama Munggu Raya (Kandangan). Pertemuan tersebut dimaksudkan untuk penghentian permusuhan kepada pihak Belanda. Kemudian pada tanggal 1 November 1949 ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan dilikwidir menjadi Kesatuan Angkatan Darat Divisi Lambung Mangkurat dengan panglimanya Letkol Hassan Basry.

Refleksi untuk membangun Kal-Sel
Dari paparan singkat diatas kita dapat mengetahui bagaimana para pejuang maupun rakyat Kalimantan Selatan berjuang tanpa lelah dan henti untuk mengusir para penjajah di Banua ini. Air mata, darah, bahkan nyawa, mereka korbankan untuk melawan keberadaan bangsa asing untuk menjajah kembali. Pahit getirnya perjuangan tersebut memperoleh hasilnya dengan diproklamirkannya proklamasi 17 Mei 1949, yang merupakan suatu bentuk pernyataan fundamental rakyat di Kalimantan Selatan, bahwa Kalimantan Selatan merupakan bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan secara mutlak menyatakan menentang praktek-praktek kolonialisme di bumi Antasari.
Hendaknya bagi rakyat Kalimantan Selatan saat ini yang menikmati buah dari kemerdekaan, meneladani apa-apa yang telah di lakukan oleh para pejuang, yang dengan gigih memperjuangkan kemerdekaan. Memperoleh kemerdekaan tidak semudah yang kita bayangkan, karena melalui serangkaian revolusi fisik yang sangat berat dan penuh dengan pengorbanan. Saatnya sekarang rakyat Kalimantan Selatan merenungkan diri dari pengalaman historis proklamasi 17 Mei 1949 ini. Jadi bukan hanya diperingati setiap tahunnya, melainkan di refleksikan dengan tindakan nyata untuk membangun Banua ini kearah yang lebih baik. Kepada pemimpin di daerah ini diharapkan dengan sungguh-sungguh dapat melaksanakan pembangunan Kalimantan Selatan sutuhnya, dan bukan hanya untuk kepentingan pribadinya sendiri saja agar tercapai pembangunan yang adil dan merata.
Kiranya bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai jasa-jasa pahlawannya, oleh karena itulah hendaknya agar masyarakat Kalimantan Selatan tidak melupakan para pejuang yang berjuang dan brkorban untuk memperoleh kemerdekaan bagi Banua ini. Pemerintah daerah hendaknya dapat memperhatikan masa depan para veteran perang, dengan memberikan santunan kepada mereka atas jasa-jasanya selama ini sehingga masa tua mereka dapat terjamin dengan baik. Sebagai orang yang hidup di bumi Kalimantan Selatan, saya mempertanyakan mengapa Proklamasi 17 Mei 1949 yang merupakan peristiwa bersejarah ini sangat sedikit bahkan hampir tidak ada dikemukakan oleh penerbit-penerbit buku teks sejarah nasional khususnya bagi tingkat persekolahan. Padahal tidak sedikit sumbangsih rakyat Kalimantan Selatan dalam memperjuangkan kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia. Namun terlepas dari semua itu hendaknya kita dapat mensyukuri nikmat kemerdekaan yang sekarang ini telah kita rasakan, khususnya bagi generasi muda kiranya dapat mengambil contoh dari para orang-orang terdahulu kita yang berjuang dengan semangat pantang menyerah yang tinggi dan tanpa mengenal lelah memperjuangkan kemerdekaan bagi kita semua, serta berusaha membangun bangsa dan negara ini kearah yang lebih baik dan berdaya saing di dalam perkembangan global dewasa ini. MERDEKA!!!

Tulisan ini di dedikasikan untuk menghormati jasa-jasa pahlawan Proklamasi 17 Mei 1949…

OLEH : M. RIZKY AD’HA (MAHASISWA FKIP UNLAM PRODI PENDIDIKAN SEJARAH)

Published in: on September 24, 2007 at 7:04 am  Tinggalkan sebuah Komentar  

Jangan Remehkan Gerakan Protes Mahasiwa!!!

Jangan Remehkan Gerakan Protes Mahasiwa!!!

Bila kita berbicara tentang gerakan protes mahasiswa, mungkin di benak sebagian orang di kalangan masyarakat berpendapat mendefinisikannya sebagai suatu fenomena yang mempunyai sifat-sifat radikal dan agresif dalam setiap pelaksanaanya.Lihat saja banyak teman-teman mahasiswa yang turun ke jalan-jalan berdemonstrasi sembari berkoar-koar menuntut keadilan terhadap hak-hak masyarakat yang sering di kesampingkan oleh suatu pemerintahan. Masyarakat mungkin sering melihat mobilisasi massa oleh mahasiswa yang kadangkala di selingi oleh tindakan-tindakan anarki terjadi di beberapa daerah. Hal ini memberikan kesan di masyarakat bahwa yang namanya gerakan protes mahasiswa itu identik dengan sekumpulan massa yang kerjanya berteriak-teriak di jalan-jalan dan bisanya hanya membuat onar saja di tempat-tempat umum, dalam aksinya acapkali berurusan dengan aparat penegak hukum alias polisi atau semacamnya lah…
Anggapan tersebut di atas hendaknya dapat kita buang jauh-jauh dalam konsepsi pemikiran kita, terlebih-lebih lagi negara kita merupakan negara yang menganut asas demokrasi.Apa salah setiap orang mempunyai pandangan yang berbeda-beda dalam menafsirkan suatu realita sosial yang terus berkembang?. Lalu apakah kita harus mengikuti setiap kebijaksanaan yang dibuat dan dikeluarkan oleh suatu otoritas (Pemerintah), padahal pada kenyataannya bertentangan dengan hati nurani kita dan jelas-jelas menyengsarakan rakyat?.
Dalam tulisan ini Saya mencoba mengangkat posisi mahasiswa yang pada masa sekarang telah di marjinalkan oleh berbagai kepentingan otoritas pemerintah semata. Suasana rezim yang tidak kondusif lagi merupakan wahana bagi mahasiswa untuk bertindak dan menyuarakan aspirasi-aspirasi di kalangan masyarakat untuk mengingatkan Pemerintah agar setiap kebijaksanaannya tidak bertentangan dengan hak-hak dan kepentingan masyarakat banyak. Dalam pandangan masyarakat yang berkembang, mahasiswa merupakan suatu kreator yang berperan mengkritisi setiap pola-pola kebijaksanaan otoritas pemerintahan agar hasilnya dapat dipertanggung jawabkan. Tapi keberadaan mahasiswa melalui aksi-aksinya sendiri menimbulkan bumerang tersendiri, karena dapat dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu yang bisanya hanya memanfaatkan dan memancing di air keruh terhadap situasi-situasi yang dapat menggerakkan mahasiswa. Hendaknya mahasiswa sebagai creator pembangun bangsa dapat secara selektif mencermati gejala-gejala social yang tengah terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat, karena apabila mahasiswa termakan hasutan-hasutan orang-orang tertentu tersebut bisa saja dapat merugikan diri mahasiswa itu sendiri maupun bagi lingkungan umum di masyarakat.
Saya memperoleh kesan bahwa mahasiswa dapat merupakan kekuatan sosial politik yang penting. Aksi-aksi mahasiswa tahun 1966 yang berakhir dengan lahirnya Pemerintah Orde Baru merupakan bukti yang jelas. Demikianpun aksi-aksi setelah 1966 (1971, 1974, 1977) walaupun tidak sampai kepada perubahan Pemerintahan, namun cukup besar pengaruhnya sehingga Pemerintah merasa perlu mengadakan reaksi baik secara langsung maupun tidak langsung, dan nyatanya prubahan sosial memang terjadi. Salah satu aksi mahasiswa yang paling fundamental terjadi di tahun 1998 dan dicatat dalam sejarah Negara Indonesia yaitu, dilengserkannya rezim Orde Baru yang berkuasa cukup lama di Republik ini dengan melahirkan suatu tatanan Pemerintahan yang baru dan dikenal dengan sebutan Reformasi. Baru-baru ini mahasiswa di daerah, khususnya Banjarmasin bereaksi terhadap di berlakukannya undang-undang pemerintah tentang pembentukan RUU Badan Hukum Pemerintah (BHP) di dalam dunia pendidikan, yang disinyalir hanya orang-orang berduit yang bisa mengenyam pendidikan. Lalu reaksi mhasiswa sendiri bagaimana?. Jelas sekali bhwa mahasiswa menolak tentang RUU BHP tersebut, dengan lantang mereka menyuarakan aspirasinya, dan berorasi dengan alasan sama saja dunia pendidikan dizalimi oleh pemerintah sendiri.
Gerakan protes mahasiswa dalam tulisan ini tidak akan dipelajari sebagai gerakan organismik atau secara sosiologis, melainkan sebagai gejala psikologis dengan cara sosial tertentu (“socially determined”). Dalam perkembangan psikologi sebagai pengetahuan, fenomena protes telah banyak mendapat sorotan baik dari sudut psikologi perkembangan maupun dalam studi-studi psikologi sosial. Ditinjau dari fase perkembangan seseorang, mahasiswa berada dalam tahap perkembangan tertentu, oleh karena itu merupakan suatu hal yang sangat boleh jadi diterangkan lebih mantap dari segi psikologi. Gerakan protes mahasiswa dari masa ke masa tampak sebagai gejala universal yang terlepas dari kekhususan-kekhususan kultural. Namun adakalanya pengaruh-pengaruh kultural tersebut dalam pengungkapan protes. Sehingga tidak menutup kemungkinan kita perlu meninjau dari segi psikologi, khususnya psikologi sosial.
Adapun yang dimaksudkan dengan “gerakan protes mahasiswa” dalam tulisan ini adalah kegiatan yang dilakukan oleh mahasiswa secara bersama-sama atau sendiri-sendiri untuk menentang suatu kebijaksanaan yang dibuat oleh suatu otoritas (pimpinan universitas atau pemerintah). Kita harus mencermati bagaimana gerakan protes mahasiswa ini bisa mencapai tahapan yang memicu terjadinya kegiatan ini di kalangan mahasiswa. Karena adanya hubungan “power-dependency” dan karena individu-individu dalam komunitas dan kelompok-kelompok dalam komunitas mempunyai “power” yang berbeda-beda, maka dalam komunitas biasanya terbentuk strata sosial atau pelapisan sosial.
Pelapisan-pelapisan sosial ini seringkali menambah kemungkinan terjadinya konflik-konflik dalam komunitas bila lapisan atas dari masyarakat yang memegang kekuasaan tidak dapat mengontrol kekuasaannya lagi, menggunakannya dengan sewenang-wenang dan dengan itu menekan lapisan sosial yang ada di bawahnya. Orang-orang yang berada pada lapisan sosial bawah pada keadaan-keadaan tertentu bisa memprotes keadaan ini dan mereka menuntut suatu perubahan sosial (“social change”). Karl Marx adalah tokoh klasik yang mengemukakan pendapat bahwa perubahan sosial terjadi sebagai akibat pertentangan kelas dalam suatu masyarakat. Menurut para ahli seperti Ogburn dan Nimkof berpendapat bahwa, istilah “social change” diartikan sebagai perubahan positif yakni, perubahan yang memperbaiki kehidupan sosial, sedangkan untuk perubahan yang negatif mereka mempergunakan istilah “social disorganization”. Pengangguran, kemiskinan, kriminalitas, konflik-konflik sosial adalah contoh-contoh daripada disorganisasi sosial ini. Sedangkan Koentjaraningrat berpendapat bahwa, suatu bentuk perubahan sosial yang lebih khusus adalah modernisasi.
Di dalam suatu negara yang sedang berkembang, dorongan ke arah perubahan sosial seringkali mendapat tantangan dari golongan lain yang menghendaki dipertahankannya nilai-nilai lama atau nilai-nilai tradisional. Konflik antar nilai ini menyebabkan problem-problem sosial dan disorganisasi sosial. Salah satu bentuk problem sosial yang dtimbulkan oleh modernisasi adalah protes, karena pada dasarnya gejala protes merupakan suatu hal yang tak terpisahkan dari proses modernisasi. Dalam suatu negara, gejala protes ini biasanya mengakibatkan komunitas negara itu terbagi dalam dua kelompok, yaitu yang memprotes dan kelompok yang diprotes. Kelompok yang memprotes biasanya disebut kaum oposisi, merupakan kumpulan individu yang tidak puas terhadap keadaan sekarang dan menuntut perubahan, sedangkan kelompok yang diprotes adalah orang-orang yang berusaha mempertahankan keadaan sekarang karena keadaan sekaranglah yang mereka anggap terbaik. Kelompok oposisi bisa berupa kelompok buruh, petani, partai politik, militer atau mahasiswa. Sedangkan kelompok yang diprotes biasanya terdiri dari orang-orang yang sedang memegang kekuasaan pada waktu itu, umumnya mereka ini adalah pemimpin-pemimpin atau pejabat-pejabat pemerintah dan pengikut-pengikutnya.
Saya sampai kepada pendapat bahwa gerakan protes mahasiswa adalah cerminan dri konflik-konflik sosial yang sedang terjadi dalam masyarakat. Konflik-konflik itu terjadi oleh karena memang masyarakat sedang mengalami perubahan sosial dan perubahan sosial lebih dirasakan pada komunitas-komunitas di negara-negara berkembang, oleh karena di negara-negara berkembang itu masuk dengan proses yang cepat, nilai-nilai baru yang umumnya datang dari negara-negara berkembang itu masukdegan proses yang cepat, nilai-nilai baru yang umumnya datang dari negara-negara Barat yang tidak selalu bisa disesuaikan dengan nilai-nilai yang slama ini sudah ada. Mahasiswa adalah kelompok dalam masyarakat yang langsung mengalami konflik antara nilai itu dalam dirinya dan dalam lingkungan perguruan tinggi. Oleh karena itu mahasiswa paling peka dan mudah bereaksi terhadap perubahan-perubahan sosial yang terjadi.
Mahasiswa adalah suatu kelompok dalam masyarakat yang memperoleh statusnya selalu dalam ikatannya dengan perguruan tinggi. Seseorang disebut mahasiswa hanya kalau ia belajar di salah satu perguruan tinggi. Tidak seorang pun yang dapat dinamakan mahasiswa kalau ia tidak terikat pada salah satu perguruan tinggi. Perguruan tinggi didefinisikan sebagai lembaga pendidikan formil di atas sekolah lanjutan atas yang terutama memberikan pendidikan teori dari suatu ilmu pengetahuan di samping mengajarkan suatu keterampilan (skill) tertentu.
Salah satu ciri khas kaum intelektual adalah sifatnya kritis. Karena ia hidup dalam dunia ide, padahal dunia ide tidak pernah identik dengan dunia nyata, maka kaum intelektual selalu melihat kekurangan dalam kenyataan dan selalu mau mmengkritik dunia nyata , selalu menghendaki perubahan-perubahan dalam dunia nyata ke arah yang menghendaki perubahan-perubahan dalam dunia nyata ke arah yang mendekati harapan-harapan idiilnya. Jadi tingkah laku kritik merupakan ciri hakiki dari tingkah laku intelektual.
Mahasiswa adalah insan-insan calon sajana yang dalam keterlibatannya dengan perguruan tinggi (yang makin menyatu ke dalam masyarakat) dididik dan diharapkan menjadi calon-calon intelektual juga. Ada mahasiswa dari fakultas atau jurusan-jurusan ilmu sosial dan humanitas yang memang dididik untuk mempelajari masalah-masalah sosial akan menjadi intelektual. Sedangkan ada mahasiswa-mahasiswa dari jurusan-jurusan ilmu pasti dan tekhnik, yang sekalipun dalam pelajaran mereka tidak langsung menerima kuliah-kuliah tentang masalah-masalah “destiny man” , tetapi dari pergaulan dan kehidupan mereka sehari-hari mereka tetap dapat mejadi intelektual pula. Bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa ada mahasiswa-mahasiswa yang sudah menjadi intelektual walaupun belum menyelesaikan kuliahnya. Dapat dimengerti sekarang bahwa pola tingkah laku kritik pada hakekatnya secara potensial sudah terkandung dalam diri mahasiswa, terlepas dari ada atau tidak adanya pengaruh yang datang dari luar.
Dalam kedudukannya sebagai calon intelektual dan sekaligus pemuda, mahasiswa mempunyai sifat-sifat tertentu yang berbeda dari kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, sifat-sifat mana seringkali sangat menentukan fungsi mahasiswa dalam perubahan-perubahan sosial yang terjadi di masyarakat atau komunitasnya. Nampaklah sekarang bahwa peranan mahasiswa dalam masyarakat tidak dipandang hanya terbatas pada kritik atau kontrol sosial, melainkan lebih jauh lagi bisa merupakan kekuatan politik yang mampu merangsang terjadinya perubahan-perubahan sosial-poltik di negara yang bersangkutan.
Mahasiswa adalah salah satu golongan masyarakat yang mempunyai dua sifat yaitu muda dan calon intelektual. Karena dua sifatnya ini, mahasiswa memang lebih peka terhadap peristiwa-peristiwa sosial dan lebih kritis melihat kepincangan-kepincangan sosial yang terjadi. Oleh karena itu, mahasiswa nmempunyai kecenderungan protes yang lebih besar daripada golongan pemuda lainnya.
Protes yang dilakukan mahasiswa semata-mata adalah reaksi atas persepsi mereka terhadap kepincangan-kepincangan soial dalam masyarakat, yang oleh Gurr dinyatakan sebagai adanya jarak yang makin lama makin besar anatara “value expectation” dan “value capabilities”. Frustasi yang timbul karena adanya jarak anatara kedua “values” ini merangsang timbulnya berbagai reaksi dari pihak mahasiswa, antara lain reaksi protes yang bersifat agresif.
Dipilihnya reaksi protes ini tidak semata-mata tergantung kepada mahasiswa sendiri, melainkan dipengaruhi pula oleh faktor lain yang oleh Smesler digolongkan dalam 5 Determinan. Dalam prakteknya semakin kuatnya determinan – determinan itu masih dipengaruhi oleh berbagai faktor lain yang dalam penelitian ini telah dibuktikan sebagai faktor tidak efisiennya penyaluran pendapat yang ada, pengaruh dari luar melalui organisasi – organisasi mahasiswa extrauniversitas, glorifikasi oleh mass media, tidak adanya tokoh identifikasi dan besarnya peranan yang diberikan kepada organisasi – organisasi mahasiswa intrauniversitas (Dewan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa). Semua ini masih ditambah lagi dengan fungsi perguruaan tinggi di Indonesia yaitu Tri Dharma Perguruaan tinggi yang secara sadar dan sengaja ditetapkan oleh pemerintah agar perguruaan tinggi tidak menjadi suatu menara gading melainkan dapat langsung bermanfaat dalam masyarakat sebagai sumber “ilmu amaliah dan amal ilmiah”. Jadi kesimpulannya teruslah berjuang dan abdikan secara nyata bahwa keberadaan mahasiswa tidak bisa di remehkan begitu saja, Hidup Mahasiswa Indonesia….!!!.

Oleh : M. Rizky Ad’ha
Mahasiswa FKIP UNLAM

Published in: on September 24, 2007 at 6:59 am  Tinggalkan sebuah Komentar  

Eksistensi Sasirangan di tengah Gencarnya Trend Berpakaian Abad XXI

Eksistensi Sasirangan di tengah Gencarnya Trend Berpakaian Abad XXI

Dewasa ini perkembangan mengenai tata cara berpakaian semakin pesat dan bervariasi. Setiap saat dan setiap waktu ada saja keluar mode-mode pakaian terbaru yang di tawarkan kepada konsumen. Hal ini tidak terkecuali bagi masyarakat yang berada di Banua ini. Arus globalisasi yang masuk ke Banua ini, secara tidak langsung juga mempengaruhi pola pikir masyarakat dalam memilih dan menerima produk-produk dari hasil modernisasi pembangunan. Dalam hal berpakaian saja misalnya banyak terjadi perubahan yang drastis di masyarakat. Masyarakat tidak lagi terpaku kepada produk-produk hasil budaya yang nobenenya berasal dari daerahnya sendiri. Secara historis kita sebenarnya memiliki hasil kebudayaan yang tinggi, lebih tepatnya mengacu kepada suatu istilah khusus yakni local genius atau kearifan lokal yang dari turun temurun diwariskan oleh orang-orang terdahulu kita. Salah satu produk yang merupakan aset daerah ini yang perlu kita kembangkan dan lestarikan adalah kerajinan kain Sasirangan yang saat ini kita perlu tanyakan keberadaannya kepada masyarakat di Banua kita yang tercinta ini. Benar sekali kerajinan kain Sasirangan merupakan hasil dari buah pemikiran masyarakat Banjar yang secara fundamental di apresiasikan menjadi produk yang memiliki nilai kultural.
Kerajinan kain Sasirangan asal mulanya adalah kain yang merupakan suatu kepercayaan untuk kesembuhan bagi orang yang tertimpa suatu penyakit. Pada waktu dulu selain di pakai untuk orang yang sedang sakit, kain ini pun di pakai pada upacara adat suku Banjar baik untuk kalangan rakyat biasa mupun keturunan para bangsawan. Kain Sasirangan pada masa itu mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat Banjar. Namun, apabila kita tanyakan wacana tersebut pada masa sekarang apakah apakah hal itu masih tepat?.
Pada masa sekarang pengaruh kebudayaan asing makin terasa kepada kita. Hal ini disebabkan karena kita sering melakukan kontak langsung melalui mass media seperti televisi, radio, internet dan lain-lain. Akibatnya apresiasi masyarakat terhadap produk budaya tradisional yang telah di ekspos semakin berkurang bahkan memudar.
Masuknya pengaruh dari budaya luar (asing) baik dari daerah lain maupun yang berasal dari Indonesia, yang membawa dan menghasilkan produk-produk budaya baru turut mempengaruhi turun-naiknya kepopularitasan kerajinan kain Sasirangan sendiri. Akibatnya masyarakat mulai tersugesti mengikuti perkembangan trend-trend terbaru dari cara berpakaian. Hal ini dapat kita lihat perbandingannya yakni hanya para generasi tua yang masih mempergunakan kain Sasirangan, itupun hanya pada event-event tertentu seperti di pakai pada saat acara perkawinan saja, acara-acara kantor, peringatan hari-hari tertentu, dan lain sebagainya. Satu pertanyaan yang perlu kita lontarkan yakni bagaimana respon generasi muda dalam memaknai eksistensi kerajinan kain Sasirangan ini sendiri?. Mungkin di kalangan generasi muda beranggapan bahwa model yang di tawarkan tidak mencerminkan stylish yang modern, tidak gaul, dan tidak berkiblat pada perkembangan zaman alias ketinggalan zaman atau istilah gaulnya zadul (baca: zaman dulu) banget. Khususnya pada lingkungan remaja, mereka tidak merasa mempunyai tanggung jawab dan tidak merasa mendapatkan manfaat dari produk budaya tradisional tersebut. Sehingga dampaknya para remaja semakin menjauh dan merasa asing terhadap budaya yang dihasilkan nenek moyangnya sendiri, dan mereka lebih dekat kepada hasil budaya bangsa asing (Barat). Walaupun pada kenyataannya begitu, ada beberapa sekolah di Banjarmasin yang menganjurkan siswa-siswinya untuk wajib memakai busana Sasirangan pada hari tertentu saja. Namun dari segi pemahaman berpikir apakah mereka menyadari dan memaknai busana Sasirangan yang mereka pakai tersebut?.
Menurut hemat saya, agar popularitas kain Sasirangan ini tetap terjaga sampai anak cucu kita di perlukan suatu gebrakan-gebrakan baru dalam hal memodifikasi kain Sasirangan ini kebentuk yang lebih baik dan menarik lagi serta di sesuaikan dengan mode-mode terbaru. Dibutuhkan kreatifitas yang tinggi dari pengrajin kain Sasirangan di Kalimantan Selatan, sekaligus memotivasi mereka agar produk kain Sasirangan ini dapat kita bawa ke tingkat nasional dan dapat bersaing dengan produk-produk dari daerah lain. Bandingkan saja dengan produk Batik Yogya yang gaungnya kedengaran hingga ke mancanegara. Kemudian di daerah lain tepatnya di Palembang juga memiliki kerajinan kain yang bentuk dan motifnya rada-rada mirip kain Sasirangan. Bisa saja mereka nantinya mengklaim bahwa produknya tersebut merupakan hasil dari budaya mereka, dan daerah kita dianggap menjiplak budaya daerahnya. Apakah kita mau hal itu sampai terjadi?. Jawabnya tentu saja tidak ! Kalau hal itu terjadi bisa-bisa identitas budaya daerah kita akan kehilangan jati dirinya.
Untuk mengatasi permasalahan di atas tentu saja di perlukan keterlibatan di dalam komponen masyarakat agar lebih mensosialisasikan poduk-produk daerahnya sendiri ketimbang mereka hanya menerima produk-produk instan dari pengaruh budaya modernisasi. Kita hendaknya bangga terhadap produk buatan daerah sendiri, karena secara rill kita dapat membentuk identitas dan integritas budaya sendiri di tengah pluralitas di dalam masyarakat. Apabila kita dapat menghargai hasil kebudayaan daerah kita sendiri, secara langsung kita berpartisipasi dalam proses pewarisan budaya. Selain itu mentalitas kita sebagai masyarakat Banjar dapat terjaga dengan baik pula. Pada hakekatnya diperlukan sinkronisasi antara partisipasi pemerintah daerah dalam memberdayakan warisan budaya yang ada di masyarakat Banjar, beserta komponen masyarakat dalam membangun Banua ini agar nantinya lebih terekspos ke luar daerah bahkan tingkat mancanegara sekalipun, khususnya dalam mempopularitaskan produk kerajinan kain Sasirangan ini. Jadi kesimpulannya, mengapa kita sebagai masyarakat Banjar tidak beralih kepada produk-produk yang dihasilkan oleh budaya local sendiri?.

Oleh : Muhammad Rizky Ad’ha
Mahasiswa FKIP UNLAM Prodi Pendidikan Sejarah

Published in: on September 24, 2007 at 6:52 am  Comments (1)  

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

Published in: on September 24, 2007 at 5:57 am  Comments (1)